Sendiri dan Sepi: Apakah Kesendirian Selalu Menyebabkan Kesepian?

Ditulis oleh: Putu Satwika Arya Govinda, S.Psi.
Ditinjau oleh: Mariska S. Rompis, M.Psi., Psikolog


Pada Februari 2021 lalu, pemerintah Jepang mengangkat Tetsushi Sakamoto sebagai Menteri Urusan Kesepian. Masalah ini disebut-sebut berhubungan dengan peningkatan kasus bunuh diri di Jepang sepanjang tahun 2020. Jepang bukan negara pertama yang mengambil langkah demikian. Pada tahun 2018, Inggris mengangkat Tracey Crouch sebagai Menteri Urusan Kesepian pertama di dunia.

Penunjukkan ini dapat menggambarkan betapa kesepian telah dianggap sebagai masalah serius di kedua negara. Anda mungkin tak asing dengan berbagai informasi tentang masalah yang mungkin ditimbulkan oleh kesepian. Begitu juga berbagai seruan untuk menghindari kesepian dan mencari hubungan sosial yang baik.

Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang menggemari kesendirian? Atau bagaimana dengan mereka yang secara sengaja memutus interaksi sosial pada saat-saat tertentu? Apakah kesendirian semacam itu sama dengan kesepian yang selama ini berusaha diatasi oleh berbagai pihak di seluruh dunia?


Kesendirian vs Kesepian

Sebelum dapat menyimpulkan perbedaan kesepian dan kesendirian, kita perlu memahami keduanya terlebih dahulu. Kesendirian didefinisikan sebagai keadaan saat seseorang mengurangi atau melepaskan diri dari interaksi dengan orang lain (Long & Averill, 2003). Meski melepas interaksi dengan orang lain, kesendirian tidak selalu menyebabkan kesepian.

Menurut Masi et al. (2011), kesepian adalah keadaan ketika seseorang merasa hubungan sosial yang dimilikinya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Ketidaksesuaian tersebut tidak hanya tentang seberapa banyak hubungan sosial yang diinginkan, tetapi juga tentang kualitas hubungan sosial yang diharapkan. Pernah mendengar ungkapan “kesepian di tengah keramaian”? Ungkapan tersebut bisa saja nyata adanya jika keberadaan orang-orang di sekitar tidak dapat memberikan hubungan yang memuaskan.

Itulah mengapa kesepian tidak selalu menyertai kesendirian. Jika kesendirian adalah saat kita memang memilih untuk tidak terlibat dengan interaksi sosial, maka kesepian adalah ketika kita tidak mendapatkan interaksi sosial yang diinginkan.


Mengapa kita merasa kesepian?

Alasan mengapa manusia bisa merasa kesepian dapat dilacak secara evolusi (Masi et al., 2011). Sejak puluhan ribu tahun lalu, nenek moyang kita terbiasa hidup dalam kelompok. Bagi mereka, hidup bersama orang lain yang dapat dipercaya akan memperbesar peluang bertahan hidup. Hidup berkelompok mempermudah mereka memperoleh makanan, melawan ancaman dari hewan buas, hingga merawat keturunan. Bagi nenek moyang kita, hidup seorang diri adalah sesuatu yang berbahaya dan lebih mungkin mengundang maut. Dari situ, mulai muncul kebutuhan untuk terhubung dengan orang lain yang dapat dipercaya.

Karena memiliki mendukung proses bertahan hidup, kebutuhan ini kemudian diturunkan secara turun temurun. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, otak kita mengirimkan sinyal berupa perasaan tidak nyaman bernama kesepian. Seperti halnya rasa haus yang timbul saat tubuh kekurangan cairan dan mendorong kita untuk minum, fungsi dari kesepian adalah untuk mendorong kita mencari koneksi yang berarti dengan manusia lain.

Meski kondisi hidup kita sudah jauh berbeda dengan puluhan ribu tahun silam, nyatanya mekanisme ini masih tersisa hingga sekarang. Berbagai penelitian modern masih menemukan bahwa kesepian yang tak teratasi masih memberi dampak negatif pada manusia. Dibandingkan dengan mereka yang tidak kesepian, orang yang kesepian lebih memandang dunia sebagai tempat yang mengancam serta lebih peka dan lebih mungkin mengingat hal negatif dalam interaksi sosial mereka (Cacioppo et al., 2014).

Kecenderungan-kecenderungan tadi dapat mengarahkan seseorang untuk memiliki ekspektasi yang negatif terhadap hubungan sosial dan mengembangkan sinisme serta ketidakpercayaan pada orang lain (Cacioppo et al., 2014; Masi et al., 2011). Alhasil, mereka bisa saja malah menarik diri dari hubungan sosial yang malah membuat mereka semakin kesepian.

Penelitian lain tentang kesepian juga mencatat dampak-dampak negatif lain. Dampak tersebut diantaranya menurunnya well-being dan meningkatkan risiko masalah kesehatan fisik (Barreto et al., 2021). Perasaan tidak aman yang timbul karena kesepian dapat menurunkan kemampuan seseorang untuk meregulasi diri (Hawkley & Cacioppo, 2010). Ini memperbesar peluang seseorang terlibat dalam perilaku berisiko dan kesulitan melakukan pola hidup sehat.

Jika kesepian dapat menimbulkan masalah, bagaimana dengan kesendirian? Apakah senang untuk menyendiri dapat membahayakan?


Menyendiri yang “Sehat”

Menyendiri digolongkan sehat jika dilakukan atas keinginan sendiri. Artinya, pilihan untuk menyendiri adalah sesuatu yang kita nikmati. Menyendiri yang sehat juga adalah saat kita masih dapat mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dan kita dapat kembali menjalin hubungan dengan orang lain ketika kita menghendakinya. Jika kesendirian mulai menyebabkan kita merasa terkucil dari orang-orang sekitar, itulah tanda kesendirian sudah mulai menjadi masalah.

Tidak apa jika, misalnya, Anda merasa butuh menyepi setelah rapat yang panjang dan intens di kantor. Atau saat Anda memutuskan mengisi akhir pekan dengan larut dalam buku-buku favorit atau menikmati kesunyian alam sambil menonaktifkan ponsel. Selama Anda masih mampu kembali bersosialisasi dan memiliki orang-orang untuk diajak bicara jika dibutuhkan, kesendirian Anda bukanlah kesepian.

Ketika dilakukan dalam batasan yang sehat, menyendiri juga dapat membawa keuntungan. Misalnya saja memberi perasaan bebas, kesempatan untuk mengelola pikiran, performa yang lebih baik untuk mengerjakan tugas-tugas yang menuntut fokus dan kreativitas, hingga memberi ruang untuk meningkatkan spiritualitas (Long & Averill, 2003).


Penutup

Sebagai manusia, pada dasarnya kita membutuhkan keberadaan dan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Oleh karenanya, kesepian adalah sesuatu yang sebaiknya diatasi. Namun kita juga kadang membutuhkan waktu untuk sendiri karena berbagai alasan. Selama itu dilakukan berdasarkan kebutuhan dan keinginan sendiri, tak menutup kemungkinan kesendirian adalah sesuatu yang bermanfaat.


Referensi

Barreto, M., Victor, C., Hammond, C., Eccles, A., Richins, M. T., & Qualter, P. (2021). Loneliness around the world: Age, gender, and cultural differences in loneliness. Personality and Individual Differences, 169(April 2020), 110066. https://doi.org/10.1016/j.paid.2020.110066

Cacioppo, J. T., Cacioppo, S., & Boomsma, D. I. (2014). Evolutionary mechanisms for loneliness. Cognition & emotion, 28(1), 3-21.

Hawkley, L. C., & Cacioppo, J. T. (2010). Loneliness matters: A theoretical and empirical review of consequences and mechanisms. Annals of behavioral medicine, 40(2), 218-227.

Long, C. R., & Averill, J. R. (2003). Solitude: An exploration of benefits of being alone. Journal for the Theory of Social Behaviour, 33(1), 21–44. https://doi.org/10.1111/1468-5914.00204

Masi, C. M., Chen, H. Y., Hawkley, L. C., & Cacioppo, J. T. (2011). A meta-analysis of interventions to reduce loneliness. Personality and Social Psychology Review, 15(3), 219–266. https://doi.org/10.1177/1088868310377394

Bagikan:
Posted on 5 April 2023 under Artikel.

PIP UNPAD

Online
TODAY
Hai, ada yang dapat kami bantu?
© 2024 All rights reserved