Oleh: Ike Marieta, S.Psi., Psikolog
Mengingat-ingat perjalanan pandemi Covid-19 ini, jujur saja, tidak pernah terlintas dalam benak saya bahwa akhirnya kita dan seluruh dunia mengalami situasi ini. Di hari ini, kita masih berjuang menghadapi berbagai hal, tidak hanya melawan virusnya namun juga ternyata dihadapkan pada berbagai persoalan ekonomi, sosial dan psikologis yang kompleks.
Saya coba menelusuri beberapa sumber informasi tentang pandemi terutama kaitannya dengan aspek psikologis. Jika dirunut, berbagai penyakit dan kondisi kesehatan erat kaitannya dengan perilaku manusia, sehingga memahami pandemi dari sudut pandang psikologi dapat memberi perspektif pada cara pencegahan dan penanganannya. Kembali ke sumber yang saya telusuri, saya menemukan bahasan salah satu agenda dalam World Economic Forum 2018 : (https://www.weforum.org/agenda/2018/08/the-psychology-of-pandemics/). Artikel yang ditulis oleh 3 orang peneliti ini, menjelaskan bagaimana manusia menghadapi situasi yang serba tidak jelas ketika pandemi terjadi. Dalam salah satu pernyataannya, 3 peneliti ini menulis : Pandemics have killed millions in the past and it’s likely another will eventually come – we just don’t know when. Ternyata, di penghujung 2019 virus baru telah datang dan dalam sekejap telah menular ke seluruh negara, hanya dalam hitungan kurang dari 4 bulan.
Mengapa? Penyebab terjadinya pandemi paling tidak perlu 3 elemen: infectious agent (virus, bakteri), host (manusia) dan lingkungan. Sederhananya, penularan virus terjadi melalui interaksi manusia. Covid-19 ini menular dari kedekatan fisik yang mendasar (sentuhan atau paparan droplet yang berisi virus), dilanjutkan dengan masa inkubasi panjang, dan pada beberapa orang, perburukan yang sangat cepat.
WHO (2005) menyebutkan, pandemi ditandai dengan situasi ketidakpastian, kebingungan dan kedaruratan. Di awal penyebaran, ketidakpastian dan mis-informasi tentang cara pencegahan dan manajemen penanganan merupakan hal yang memang diprediksi terjadi (Kanadiya & Sallar, 2011). Tidak heran, di awal kita menyaksikan dan mendengar berbagai pendapat dan reaksi yang berbeda, baik dari ahli maupun pemerintah. Dalam situasi ketidakpastian ini, riset menunjukkan, manusia justru jarang mau mengikuti himbauan, jarang mau mengorbankan kepentingan dirinya karena merasa ‘saya tidak akan kena’, ‘semua akan baik-baik saja’. Sehingga di awal, orang masih nekat bepergian. Tidak percaya bahwa dirinya bisa saja menularkan virus pada orang lain.
Situasi ketidakpastian ini tidak dapat diprediksi, mengingat pandemi juga dapat datang berulang. Ini adalah pandemi pertama dalam era digital, dalam situasi dimana sebelumnya dunia adalah tanpa batas. Kita sudah terbiasa dapat dengan mudah dan cepat melakukan hal-hal yang kita inginkan, seperti bepergian ke penjuru dunia. Didukung dengan peran media sosial, membuat bepergian atau liburan menjadi kebutuhan utama. Masih ingat lelucon ‘kurang piknik’? Yah, sekarang kita tidak tahu kapan bisa piknik dan bepergian. Saat ini justru kita hidup dalam batasan fisik.
Namun, coba kita lihat hal lain, situasi pandemi ini akan memunculkan cara-cara hidup yang baru, tergantung bagaimana akhirnya virus ini bisa diatasi. Contoh kecil, kebiasaan cium tangan di kita mungkin akan hilang, apalagi cium tangan di sekolah atau di acara-acara umum. Perilaku hidup sehat pun seharusnya berubah. Cara bekerja dan cara belajar juga akan berubah. Mungkin orang akan lebih menahan diri untuk tidak gampang bepergian, mengurangi jejak karbon, mengurangi polusi. Hal yang perlu dipersiapkan, doa kita bahwa pandemi cepat berlalu, perlu diimbangi dengan kesadaran untuk mengubah perilaku. Kita tidak akan bisa hidup ‘normal’ kembali seperti semula, there will be a new normal. Sehingga penting untuk kita saat ini, dalam situasi sekarang, belajar untuk bisa beradaptasi. Hoping for the best but expecting the worst, also.
Apa yang kita lakukan saat ini di situasi pandemi bukan hanya untuk mengisi waktu untuk menunggu pandemi berakhir, tapi justru menyiapkan diri untuk hidup dalam cara-cara yang baru. Pendidik, orang tua, pebisnis, pemimpin, politikus, profesional, pekerja akan perlu menemukan cara-cara baru dalam menjalankan perannya. Selain cara hidup baru, juga yang mudah-mudahan menguat adalah kesadaran bahwa tindakan yang kita lakukan tidak hanya berdampak untuk diri kita sendiri. Covid-19 ini telah menjadi contoh nyata bahwa jika kita hanya memikirkan diri sendiri, kita justru membahayakan orang lain, bahkan orang yang kita cintai. Juga menguat gotong royong, tindakan altruis, serta sukarela membantu orang lain.
Dalam situasi pandemi, penelitian dan pengalaman menunjukkan bahwa tindakan sukarela (altruism) adalah salah satu tindakan yang dapat mencegah penyebaran. Sukarela untuk diam di rumah, tidak pergi bekerja, tidak berkumpul, menjaga jarak dengan orang lain, mengkarantina diri. Situasi pandemi menjadi stressor tersendiri untuk setiap orang, dalam situasi dan tingkatan yang berbeda. Sehingga, perlu selalu ada dukungan-dukungan dalam level individu, kelompok dan masyarakat. Mereka yang terjun ke lapangan untuk menyelamatkan nyawa, mereka yang tetap bekerja untuk menjaga distribusi pangan, mengantarkan kebutuhan, menjaga keamanan, mereka yang bekerja di rumah, mereka yang mengkarantina diri, semua adalah pahlawan untuk umat manusia.
Tidak semua orang dapat menghadapi situasi ini dengan baik, beberapa dapat mengalami gangguan psikologis, baik ringan, sedang maupun berat. Tidak mudah menghadapi perubahan, apalagi ketidakpastian. Support minimal dari lingkungan dalam bentuk komunikasi, kesediaan untuk mendengarkan dan melakukan hal yang bisa kita lakukan untuk membantu orang lain, tidak hanya berdampak untuk lingkungan, juga dapat menjadi cara agar kita sendiri dapat menghadapi stuasi ini dengan baik.